Siapa yang tidak mengetahui Yogyakarta?
Kota yang banyak sekolahnya, dikenal sebagai kota pelajar. Jika mengetahui
Yogyakarta, pasti juga mengetahui Malioboro, kan? Sebuah ikon Kota Yogyakarta,
yang terkenal romansa romantisnya. Malioboro, menyimpan banyak kenangan
tentangmu. Iya, kamu.
**
Menjadi anak rantau, hal yang kali pertama
terpikir adalah bagaimana cara bertahan hidup, bagaimana mendapatkan teman, dan
bagaimana agar kuliah tidak terbelengkelai. Sore itu, aku mendapat pesan dari
salah satu kakak tingkat tentang acara yang diadakan oleh himpunan mahasiswa.
Kami diminta ke auditorium fakultas dalam waktu kurang dari 30 menit. Ternyata,
di auditorium sudah banyak orang ketika aku datang 15 menit kemudian. Tepat 30
menit yang dijanjikan, muncul pesan baru. Kami diminta motoran ke Malioboro.
Hah? Aku tidak ada motor. Langsung saja,
auditorium menjadi gaduh. Mahasiswa saling bertanya apakah ada yang bawa motor?
Boleh nebeng nggak? Ngomong-omong, kalian pernah dengar anak ayam bersuara di
gerombolan? Ya, sangat berisik, seperti itu kondisinya.
“Hei, kamu butuh tebengan?”
Aku menoleh, menyadari bahwa laki-laki itu
bukan teman satu angakatan. “Butuh sih kak.”
“Sama aku, mau?”
Anggukan selanjutnya, merupakan awal dari
kenangan kita di Malioboro.
**
Kalian mengetahui indahnya lampu warna
kunig oranye putih di GSP waktu malam? Indah, kan? Ya, indah sekali. Lampu di
Malioboro tak kalah indah. Warna hangat dari lampu tersebut, seakan menambah
nuansa romatisme kala itu. Hati yang menghangat, kupu-kupu yang seakan-akan
terbang meledak di perutku. Dadaku berdesir. Ah, ini kah rasanya jatuh cinta?
“Aku menyukaimu. Kita pacaran ya?”
Anggukan selanjutnya, menandakan bahwa
kita akan lebih sering di Malioboro.
**
Kalian pasti bertanya-tanya, apa kenangan
di Malioboro? Apakah kalian mengerti nikmatnya jalan dari parkiran Abu Bakar
hingga Tugu KM. 0? Sepanjang jalan bergandengan tangan, menyelip di antara
orang yang lalu lalang, kepulan asap dari penjual sate, anak-anak sekolah yang
menjajakan bunga mawar sebagai program danus, suara merdu dari pasangan tuna
netra, suara angklung di depan Ramayana, mobil dan motor yang melaju perlahan
demi menikmati sisi kanan dan kiri, dan tarian-tarian yang mengisi beberapa
titik.
Banyak yang bisa dinikmati. Begitu juga
kenangan kita di sini. Duduk di salah satu bangku, saling bercerita satu sama
lain, dan tentu saja, menikmati senyummu. Lihat! Ada kerutan di sudut mata ketika
kamu tersenyum! Oh ya, lesung pipi ketika kamu berbicara. Ah, manis sekali.
Kamu membuatku jatuh cinta berkali-kali. Keluh kesahmu karena skripsi yang tak
kunjung selesai terkadang membuatku tertawa. Tidak, aku tidak menertawakan progres
skripsimu, tetapi bibirmu yang mengerucut itu lho setiap menggerutu.
**
Aku teringat waktu itu. Satu hari setelah
aku wisuda, kamu mengajakku ke Malioboro. Ah, apakah kamu akan memberi hadiah
wisuda di sini? Yahh, mengingat banyak kenangan kita di sini.
“Terima kasih empat tahun ini.”
Coba dengarkan, jantungku berdegup sangat
kencang. Apa yang akan dia bicarakan? Wajahmu sangat tenang, senyumku terus
mengembang.
“Aku tidak bisa melanjutkan hubungan ini.”
Senyumku menghilang. Jantung yang berdetak
tak tentu tadi seakan dihunus pedang yang sangat tajam. “Maaf.”
Kamu memalingkan wajah, lalu melewatiku
begitu saja.
**
Saat ini, aku duduk tepat di mana kejadian
lima tahun lalu terjadi. Aku merutuki diri sendiri, kenapa setiap jatah libur,
alam bawah sadar membawa kesini tanpa izinku?
Apa? Kalian bertanya bagaimana kabar
laki-laki itu? Entahlah, mungkin sudah menikah, atau malah sudah punya
anak-anak yang menggemaskan?
“Permisi, apakah saya bisa duduk di sini?”
Aku menoleh. Terperangah melihat laki-laki
yang sedang membawa satu porsi sate, berdiri di sampingku. Hei sadar! Bukan,
itu bukan kamu! Aku tidak bisa berkata-kata. Suaraku tertahan, leherku rasanya
tercekik.
“Loh, kamu?”
Sial.