Secangkir cokelas panas menemani kesendirian di kafe nan ramai ini. Pojok kafe, derasnya hujan, dan tatapan tak terartikan yang melihat seorang perempuan duduk di pojokan ditemani oleh sebuah laptop. Perpaduan yang sangat pas.
“Ada
pesanan tambahan, Kak?”
Aku
tersadar dari lamunanku, mengangguk pada barista yang mendatangiku, “Iya,
cokelat panas satu.”
“Tumben
nggak bersama cowoknya, Kak? Nggak kayak dulu.”
Aku
tersenyum kecil, “Dia sedang sibuk, Mas.”
Selang
beberapa lama, cokelat panas telah tersaji di depanku. Sembari mengaduk cokelas
panas dan menikmati aroma khas ini, aku teringat dirimu. Tentu saja, kamu pasti
sedang sibuk.
**
Halo, apa
kabar kamu? Masih ingat kah awal kita bertemu? Wah, aku masih ingat tentunya,
saat itu kamu menghampiriku yang sedang duduk di barisan belakang. Saat itu
sakit di kaki kambuh. Kamu yang tidak sedang sibuk, mengajakku berbincang.
Cuek,
tapi perhatian. Lucu dan membuat nyaman.
Kesan
pertamaku padamu sangatlah indah, membuatku jatuh hati.
Beberapa
hari setelahnya, ada sebuah chat darimu. Kita tidak pernah melewatkan hari
tanpa bertukar cerita, entah itu lewat chat, telefon, maupun bertemu.
Tepat favorit kita, kafe ini, nasi goreng di pinggir jalan yang sangat ramai,
dan Malioboro.
Enam
bulan setelahnya, kamu memintaku menjadi, ehm, kekasihmu. Tidak ada keraguan
tentang keyakinan kita yang berbeda. Setiap kita jalan, aku menemanimu di
masjid. Setiap Minggu, kamu menemaniku ke gereja. Kita sudah mengenal satu sama
lain, saling mengenalkan dalam keluarga besar. Orang tua kita bahkan tidak
mempermasalahkan perbedaan keyakinan kita.
Kita
berjanji untuk wisuda bersama saat itu. Masih ingat kah hampir tiap hari kita
habiskan di kafe ini, bersama dengan Matcha Latte favorit kita? Malam setelah
seharian bekerja di laboratorium, maupun saat akhir pekan. Hingga barista di
sini hafal pesanan kita. Oh ya, barista yang tadi bertanya tentangmu, merupakan
barista yang sama saat itu. Rangkaian penelitian di laboratorium, konsultasi
dengan pembimbing, hingga penyusunan laporan skripsi yang sering membuat kita misuh,
kita lalui bersama. Agustus itu, kita akhirnya bisa wisuda. Ah, aku bahkan
masih menyimpan foto wisuda kita!
Kita
merantau lebih jauh dari Yogyakarta, tetapi tetap berdekatan.
Empat
bulan lalu, aku tak sengaja melihatmu menggandeng tangan perempuan, yang tidak
aku kenal. Ah, mungkin itu saudarimu. Kamu tidak melihatku saat itu,
pandanganmu melekat ke perempuan itu. Beberapa hari setelahnya, aku mengajakmu
jalan bersama. Namun, kamu menolaknya. Tak sengaja, aku melihatmu di bioskop
bersama perempuan kala itu. Dua bulan lalu, aku kembali mengajakmu jalan.
Lagi-lagi kamu menolaknya. Kali ketiga, aku melihatmu bermesraan dengan
perempuan yang sama, di tempat yang berbeda. Bersamaan dengan itu, sebuah pesan
masuk.
Sayang,
lain kali ya yang jalan-jalan? Janji deh. Aku sedang di kantor nih, harus ambil
beberapa berkas sekarang.
Saat
itu juga aku menyadari bahwa inilah cara Tuhan memperlihatkan dirimu yang
sesungguhnya. Tak sengaja mata kita beradu pandang. Kamu mendatangiku,
mencengkeram erat pergelangan tanganku.
“Aku
bisa jelasin.”
Aku
menggeleng. Saat itu juga, aku mengakhiri delapan tahun kebersamaan kita.
**
Hari
ini, selepas dari bandara, aku langsung menuju kafe. Besok, aku akan menghadiri
kamu yang bersanding di pelaminan bersama perempuan itu. Aku akhirnya akan bisa
melihat wajah perempuan yang dekat denganmu entah berapa lama. Entah aku yang
terlalu percaya padamu, entah aku yang tidak menyadari jika kamu selingkuh,
entah aku yang terlalu jatuh hati padamu. Minggu lalu, kamu mengirim undangan
pernikahan – tentu saja setelah kamu unblock kontakku. Aku tertawa miris
membayangkan ekspresimu yang tak segan-segan mengundang sang mantan. Aku pun
tidak mengerti kenapa aku menempuh dua belas jam perjalanan menggunakan pesawat
hanya untuk melihatmu menikah.
Jam
menunjukkan pukul 18:47, aku membereskan laptop dan bersiap menuju hotel.
“Nda?”
Aku
seketika membeku mendengar suara itu. Aku mendongak, mendapati kamu yang
berdiri tepat di sebelahku. “Ah, hai.”
Suaraku
tercekat.
Ah,
tak kupungkiri, aku pun rindu.
“Aku
tadi melipir bentar ke sini, kok rasanya rindu ya sama kafe ini. Eh ada kamu
juga. Aku yakin kamu pun rindu kafe ini.”
Senyumnya,
parfumnya, bau tubuh yang menguar pun masih sama. Rindu pun pada akhirnya yang
mempertemukan.
Pandangannya
tertuju pada laptopku, “Oh, habis nulis ya, mau publish di mana?”
Aku
tersenyum. Masih ingat kebiasaanku ternyata. “Blog, mungkin?”
Kamu
terkekeh. Jemarimu mengusap kepalaku. Hal yang biasa kamu lakukan dulu. Kali ini
terasa hangat, tetapi sakit. “Nda, jangan lupa bahagia ya.”
Aku
tertawa kecil, “Iya, aku pun bahagia melihatmu bahagia kok,”
Hati
kecilku menjerit. Omong kosong apa itu?
Aku
beranjak dari duduk, berhadapan dengamu. Aku memberanikan diri, mengusap
pipimu, hal yang sering kulakukan dulu. Janji, ini terakhir kali. Wajahmu
halus, jenggot dan kumis yang menjengkelkan itu telah kamu cukur.
“Selamat
ya, Ris.”
Suaraku
tercekat.
Sialan.
Aku
melangkah keluar kafe, sembari berjanji tidak akan mengunjungi kafe ini lagi.
Aku
memandang kafe dari dalam mobil, untuk terakhir kali. Kamu duduk di tempatku
tadi, memandangku dari balik kaca. Walau begitu, pandanganmu kosong, tidak
seperti saat kamu memandangku kala itu. Kamu mengusap pipimu, memintaku untuk
tidak menangis.
Ah,
tau aja sih, Ris! Enggak kok, enggak akan nangis. Mulai besok, tapi.